Selasa, 02 Maret 2010

Century dan Praktik Kotor Demokrasi



Ada dua hal yang sangat dibanggakan oleh pejuang-pejuang Demokrasi dari sistem ini, kebenaran dan suara rakyat. Sistem demokrasi dianggap paling bisa mendekati kebenaran, karena bersumber pada kedaulatan suara rakyat. Suara rakyat dianggap suara Tuhan. Sistem ini juga dianggap paling aspiratif karena selalu mendasarkan kepada suara rakyat. Namun dalam kasus Century, justru dua hal ini dilanggar. Kasus Century dengan secara gamblang menunjukkan kepada kita hakikat buruk system demokrasi dan praktik-praktik kotornya.
Kebenaran berdasarkan fakta yang seharusnya dicari oleh siapapun dan menjadi dasar pertimbangan utama diabaikan begitu saja. Meskipun berbagai bukti dan argumentasi sudah terungkap dalam rapat-rapat Pansus yang melelahkan, tetap saja yang paling menentukan adalah tawar menawar politik. Politik dagang sapi sangat kentara dalam kasus ini. Berbagai cara pun dilakukan untuk memperkuat posisi tawar menawar. Mulai dari bujukan kekuasaan sampai ancaman.
“Stick and Carrot Policy” menjadi alat penentu kebenaran. Bagi yang mau mendukung partai berkuasa , janji-janji kekuasaan dan jabatanpun dijadikan perangkap. Bukan rahasia lagi, pelobi partai berkuasa berkeliaran menawarkan posisi menteri (pasca reshufle), jabatan penting di BUMN , dan tawaran-tawaran lain yang menggiurkan.
Sebaliknya yang cendrung menolak partai berkuasa diancam dengan berbagai teror. Dikeluarkan dari koalisi, ancaman akan dikorbankan dalam reshuffle. Siapa kawan siapa lawan ditentukan bukan berdasarkan kebenaran tapi berdasarkan apakah mendukung partai berkuasa atau tidak. Seperti pernyataan sekjen DPP Demokrat Amir Syamsudin , bagi Partai Demokrat siapa lawan siapa kawan terlihat dari sikap fraksi terhadap kasus Century . Menurutnya keloyalan terhadap koalis bersama partai demokrasi , akan menjadi dasar pertimbangan evaluasi.
Pelobi-pelobi ulang pun menebarkan teror. Berbagai hal yang bisa menyeret lawan politik termasuk dugaan kejahatan masa lampau pun diungkap kembali. Staf khusus bidang sosial dan bencana Presiden SBY, Andi Arief, paling bersemangat menyeret politisi PKS dengan tuduhan terlibat dalam L/C Fiktif . Tidak tanggung-tanggung Andi Arif menuduh PKS melindungi deposan Bank Century yang bermasalah, M Misbakhun. Tuduhan yang ditolak keras oleh PKS. Andi Arif yang seharusnya lebih sibuk mengurusi bencana longsor Ciwidey, banjir dibanyak tempat di Indonesia , malah menjadi kacung penguasa demi mempertahankan posisi kekuasaan.
Dosa-dosa masa lalu pun diungkap seperti beberapa politisi yang dikenal keras dalam pansus dituding ikut dalam rombongan beberapa anggota DPR-RI yang ikut studi banding ke New York
dan London pada 2004, yang pembiayaannya ditanggung BI. Perjalanan ke luar negeri itu dianggap sebagai ‘upah’ (gratifikasi). Ical diseret-seret dalam masalah pajak. Peran Golkar dalam kasus Bank Bali, PDIP dalam kasus BLBI pun diungkap kembali untuk membuat gentar lawan. Lepas dari apakah tuduhan itu benar atau tidak pertanyaannya, kenapa baru sekarang masalah ini diungkap ?
Klaim atas nama suara rakyatpun dipertanyakan. Demokrasi selalu mengklaim bahwa system ini paling aspiratif karena berdasarkan kepada suara rakyat yang diwakili oleh anggota DPR/MPR. Kenyataannya tidak seperti itu. Meskipun sudah berjibaku dalam rapat-rapat pansus Century tentu saja telah menghabiskan dana negara, tetap saja yang kemudian menuntukan adalah pimpinan partai politik. Atas nama kebijakan partai , suara pemimpin parpol yang tidak pernah ikut rapat justru yang paling menentukan. Tentu saja setelah kompromi politik dengan partai berkuasa. Pertanyaan penting yang harus kita ajukan , kalau merasa benar kenapa harus melakukan lobi sana lobi sini. Kalau semua ditentukan oleh pemimpin partai , untuk apa ada pansus yang memakan waktu yang panjang dan menghabiskan uang negara ?
Klaim suara mayoritas sistem demokrasi memang patut dipersoalkan. Realitanya, yang berkuasa sering kali adalah pemimpin partai dan pemilik modal. Hasilnya, banyak kebijakan partai politik di DPR atau pemerintahan yang justru memberatkan rakyat dan lebih menguntungkan pemilik modal. Rakyatpun tidak pernah ditanya apakah setuju terhadap kenaikan BBM, privatisasi listrik, komersialisasi pendidikan lewat BHP. Demokrasi menjelma menjadi tirani minoritas (pemilik modal, pemimpin partai) atas nama mayoritas. Prinsip penting demokrasi ini menjadi sebuah iluasi yang tidak ada realitnya.
Praktik kotor demokrasi seperti ini sudah seharusnya semakin menyadarkan kita tentang kebobrokan dari sistem ini. Sistem yang menjadikan hawa nafsu, kekuasaan, dan harta sebagai panglima tertinggi, tidak akan pernah memberikan kebaikan pada rakyat. Kembali kepada syariah Islam adalah jalan terbaik bagi kita . Syariah Islam, sistem aturan kehidupan yang berasal dari Allah SWT yang Maha Sempurna, Maha Pengasih dan Penyayang pastilah akan memberikan kebaikan kepada manusia.
Ukuran kebenaran juga menjadi jelas yakni halal dan haram berdasarkan nash syari’i. Bukan pertimbangan hawa nafsu manusia yang seringkali sarat dengan keserakahan, dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, perbedaan waktu dan tempat. Afahukmal jahiliyyati yabghun wa man ahsanu  minallahi hukman li qoumi yukinun (Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, siapakah yang lebih baik dari pada (hukum Allah ) bagi orang-orang yang yakin ?) .Farid Wadjdi

Tidak ada komentar: